banner

Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan

Aceh Party’s victory offers hope, concern

Former separatist combatants have managed to transform the Free Aceh Movement (GAM) into a major local political force after last week's legislative elections.

Early official results of election vote counts show that the Aceh Party (PA), established by former rebels, secured a majority of votes in the country's westernmost province.

As of Friday afternoon, the vote tabulation center of Aceh’s Independent Election Commission (KIP) recorded that the party has secured 37.68 percent of votes for the party, enough to allow it to dominate the Aceh legislative council.

The PA's win in Aceh had been forecast much earlier.

During the campaign period, the party’s red flags and other symbols were highly visible across the province, even in remote villages. The party was the only contestant that staged campaign rallies in all of Aceh’s regencies.

Humam Hamid, a sociologist from the Syiah Kuala University in Banda Aceh, said the PA’s victory had nothing to do with primordialism. "Other local parties only secured a small amount of votes. They were even beaten by national parties like the Democratic Party and the Golkar Party.”

Aceh is the only province allowed under election law to have local parties contest for legislative seats in the province. There are five other local parties in Aceh aside from the PA — the People’s Aceh Party (PRA), the Acehnese People’s Independent Aspiration Party (SIRA), the United Aceh Party, the Aceh Sovereignty Party (PDA) and the Safe and Prosperous Aceh Party (PAAS).

Humam said that the PA's victory was the logical consequence of GAM’s three-decade fight against oppressions in Aceh, and added that it was backed by loyal and well-organized supporters.

”I simply followed the trend. In the past we had voted for national parties for years, but nothing changing here. This time I vote for the PA and I will see how they are going to manage our trust,” Mahdi, a resident of Seuneubok Punti village in East Aceh, told The Jakarta Post.

Another villager, who wished to remain anonymous, said he voted for the PA because he was afraid that peace would be ruined if the party lost the election. ”It’s like having a naughty son. I simply give him what he wants and expect that he will not be naughty anymore.”

Some Acehnese, especially those who were not affected by the brutal military operations, have expressed concerns that the PA's victory could allow it to use an "intimidation approach" to serve its political interests.

Party Spokesman Adnan Beuransyah rejected this concern. "Our internal evaluation found that former combatants can mingle very well with other community members,” he said. About 30 percent of the party’s legislative candidates are former combatants.

Humam said there should not be suspicion of the PA. "We should give them the opportunity to prove themselves to Acehnese people.”

Acehnese political observer Saifudin Bantasyam warned of high political tensions between the PA and the central government if the latter breaks its promise to implement all points in the Helsinki peace agreement, which gives full authority to the Aceh administration to manage its natural resources.

taken from: jakarta post.


Read More..

SBY Bisa Calon Tunggal

JAKARTA (Lampost): Karut-marut penyelenggaraan pemilu dan dominasi Partai Demokrat menggalang koalisi memungkinkan munculnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon tunggal dalam Pemilihan Presiden 1009.

Indikasi bakal munculnya calon tunggal bisa dilihat dari kekecewaan parpol atas meluasnya dugaan kecurangan Pemilu 9 April lalu, terutama kisruh daftar pemilih tetap (DPT). Pada Selasa (14-4), sejumlah tokoh politik dari berbagai parpol bertemu di kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, Jalan Teuku Umar, Jakarta. Mereka menolak hasil Pemilu 2009 karena dinilai tidak jujur dan adil. Sehari berikutnya, Mega kembali menerima sejumlah pimpinan parpol.

Semangat Partai Demokrat menggalang koalisi dengan sebanyak-banyaknya partai juga akan menghabisi kekuatan politik yang berseberangan dengan Blok S (SBY). Untuk partai yang memenuhi parliamentary threshold (PT/di atas 2,5% suara) saja, Partai Demokrat bakal menggandeng Partai Golkar, PAN, PKB, PPP, dan kemungkinan PKS. Hal itu belum termasuk dengan partai yang tidak lolos PT, antara lain PDS, PDP, PPPI, PKPI, dan akan disusul dengan Partai Pelopor dan PDK.

Sementara itu, Blok M (Mega) hanya didukung tiga partai, yaitu PDI-P, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Ketiga partai ini bisa saja menolak pilpres dengan tidak mengajukan pasangan calon sebelum KPU menyelenggarakan pemilu ulang yang bersih, jujur, dan adil.

Kotak Kosong

Kemungkinan SBY yang juga ketua Dewan Pembina Partai Demokrat maju sebagai calon tunggal bukan mustahil terjadi dalam Pilpres 2009. Ketua DPP Partai Bulan Bintang, Yusron Ihza Mahendra, juga mengingatkan kemungkinan itu. "Ini bukan karena boikot, melainkan akibat aturan main yang kurang kondusif," kata Wakil Ketua Komisi I DPR ini.

Walau begitu, lanjutnya, meski tidak bermaksud memboikot, masalahnya apakah partai-partai politik yang tidak puas atas aturan main Pemilu 9 April mau mengajukan calon. "Akal sehat akan mengatakan buat apa maju jika sudah pasti kalah akibat aturan main. Terutama masalah DPT yang kurang elegan," kata Yusron yang pernah menjadi peneliti dan dosen di Universitas Tsukuba, Jepang ini.

Yusron menunjuk tanggapan para politisi atas kemungkinan tanding melawan kotak kosong, yakni seolah-olah ini menunjuk pada adanya kesan boikot. Padahal persoalannya bukan demikian. "Aturannya kurang tegas, DPT amburadul, dan masalah teknis lain, memicu segala situasi tadi," kata dia.

Namun, lanjut dia, masalahnya perbaikan aturan main dan DPT tidak mudah karena hal ini dan membuka borok-borok serta aib yang mendasari pemilu sekarang. "Tindakan ini ibarat memukul air di dulang," ujarnya.

Meski demikian, Yusron yakin demi keselamatan negara, urusan boikot kecil sekali kemungkinannya. "Partai besar dan kecil rata-rata sudah dewasa dan tidak menginginkan krisis ketatanegaraan," ujar adik mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra ini.

Krisis dimaksud Yusron yakni jika ada kemungkinan pilpres tidak terselenggara, sedangkan perpanjangan masa jabatan presiden tidak dimungkinkan undang-undang.

Secara terpisah, akademisi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Denny, Indrayana menjelaskan tidak dibenarkan apabila nantinya SBY diajukan sebagai calon tunggal. Menurut dia, sesuai dengan undang-undang, capres dapat langsung terpilih satu putaran. "Tapi ini tidak berlaku bila tidak ada lawan," kata staf khusus Presiden SBY itu.

Ia juga belum dapat memprediksi apakah benar nantinya SBY maju sebagai calon tunggal atau tidak. "Hal-hal seperti ini berkaitan dengan kondisi politik setelah partai-partai berkoalisi. Jadi saya juga belum bisa banyak bicara," ujar dia.

taken from: lampungpost




Read More..

Jusuf Kalla Siap Diajukan Partai Golkar Maju Menjadi Presiden

Bursa calon presiden bertambah satu orang setelah Jusuf Kalla Mengatakan siap jika diajukan partai golkar untuk maju. Hal ini berkaitan dengan dukungan dari 33 DPD partai Golkar. “Di dalam politik semua bisa terjadi. Jadi jika saya di calonkan saya harus siap”, ujar Jusuf Kalla yang juga merupakan ketua umu partai golkar. Sebelumnya JK diyakinkan akan kembali maju pada pemilu sebagai pendamping SBY, menmeruskan koalisi yang telah dilakukan. Namun setelah muncul wacana bahwa JK telah didukung partainya untuk maju sebagai calon presiden, wacana koalisi tersebut tidak menjadi pilihan utama. Namun demikian, putusan bahwa JK akan maju menjadi capres bukanlah sepenuhnya keputusan partai. Hal ini dijelaskan Syamsul Mu’arif, Ketua DPP partai Golkar. Beliau mengatakan bahwa pernyataan JK tentang pencalonan dirinya sebagai Calon presiden dari partai golkar bukanlah keputusan final partai golkar, karena akan menunggu hasil rapimnas khusus partai golkar yang akan dilaksanakan setelah pemilu legislative, sambil mengamati hasil pemilu legislative tersebut.

Di lain pihak, kubu democrat melalui Ketua Pembina Partai, Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan kepada partainya untuk tidak memberikan nama-nama tertentu untuk calon wakil presiden guna menghormati tokoh-tokoh di Indonesia. Terkait dengan pencalonan JK sebagai calon presiden, partai democrat masih membuka lebar bagi partai golkar untuk nantinya meneruskan koalisi yang telah dilakukan sebelumnya.




Read More..

Caleg, Parpol, dan Demokrasi yang Boros

<script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "pub-6937949723690282";
/* 200x200, created 2/13/09 */
google_ad_slot = "4963588552";
google_ad_width = 200;
google_ad_height = 200;
//-->
</script>
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script>
Tumbangnya rezim otoriter (Orde Baru) banyak memberikan ruang perubahan yang kemudian lebih dikenal dengan "reformasi". Era reformasi bak air bah yang memberikan inspirasi bagi tiap insan maupun lembaga politik melahirkan berbagai ide perubahan. Telah banyak perubahan disaksikan rakyat, tetapi juga kesengsaraan akibat perubahan banyak ditanggung rakyat.



Demokrasi (demos + cretos) atau kekuasaan dan rakyat. Artinya kekuasaan di tangan rakyat. Betulkah telah menjadi fakta utama bagi kesejahteraan rakyat? Apa sebaliknya hanya simulasi politik bagi (mereka) yang berkepentingan dengan kekuasaan atau kesejahteraan diri sendiri?

Sepuluh tahun telah lewat, era reformasi pun dicatat rakyat belum banyak membawa perubahan. Dari pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, sampai Yudhoyono silih berganti belum memberikan arah bangkitnya kesejahteran masyarakat. Paradoks antara cita-cita demokratisasi dan fakta pembiusan masyarakat dengan jargon demokrasi. Oleh karena itu yang seharusnya demokrasi menjadi alat ukur pencerdasan dan kesadaran politik tiap warga negara, berbalik arah menjadi drama persaingan yang kerdil dan pemborosan .

Multipartai

Era multipartai yang sedang berlangsung di Indonesia menggiring masyarakat dengan banyaknya pilihan politik (partai politik). Ada jargon semakin banyak partai politik makin banyak keterwakilan dalam mekanisme sistem politik, maka demokratislah negara itu.

Hipotesis ini perlu dikaji lebih mendalam. Benarkah kesimpulan di atas menjadi cermin demokrasi?

Contoh di era liberalisasi politik seperti sekarang ini hampir tidak ada hambatan insan atau kelompok insan politik mendirikan partai politik. Apakah mereka terpanggil mendirikan partai karena ingin berbeda dari partai pendahulunya, kecewa, emosi para elitenya, atau kepentingan materi. Indikator semakin jelas di mana publik dihadapkan pada pilihan partai atau para caleg partai yang semakin tidak jelas ukurannya. Tentang akuntabilitas, kredibilitas nyaris belum teruji dan menggiring rakyat banyak untuk menjatuhkan pilihan gambling.

Sekarang ini rakyat disuguhi "kucing dalam karung" untuk membawanya pulang sebagai pilihan. Ada lembaga nonpemerintah bahkan memfatwakan haram hukumnya bagi mereka yang golput.

Esensi demokrasi belum ada ukuran yang bersifat final, bahkan demokrasi tiap saat bisa berubah sesuai kebutuhan dan waktu. Ada saat setiap individu menjatuhkan pilihan dan ada pula waktu setiap individu untuk tidak menjatuhkan pilihan karena dipikir tidak merasa terwakili atau memang pantas atau tidak pantas untuk dipilih.

Fakta ini seyogianya dijadikan cermin politik bagi setiap elite politik, partai politik untuk semakin mendewasakan arus perpolitikan di Indonesia.

Contoh lain kita simak tampilan debat-debat politik di media televisi. Tidak jarang betapa menyedihkan tokoh-tokoh politik yang tampak belum siap dan bahkan ada istilah asal ada kesempatan. Media televisi bukan untuk mencoba atau belajar, melainkan wilayah kematangan kesadaran maupun pengetahuan politik yang akan dinilai publik. Karena publik akan menentukan pilihannya atau setidaknya mengetahui tentang kapabilitas seseorang maupun partai yang mewakili di alam demokrasi.

Belum lagi arogansi yang ditunjukkan di dalam event politik oleh mereka-mereka elite/partai. Ada banyak iklan politik yang tertempel diberbagai sudut-sudut/pinggir jalan, foto-foto, dan nama-nama dengan atribut partai masing-masing. Namun belum ada yang dengan jelas memaparkan program yang bersifat komprehensif, sehingga publik mengetahui tentang pantas atau tidak pantas dipilih. Kelihatan belum pahamnya etika politik dengan pelanggaran pemasangan iklan politik hampir di seluruh Tanah Air, dengan akibat penertiban yang seharusnya tidak terjadi.

Dinamika banyaknya partai di era reformasi justru mengurangi kualitas berdemokrasi. Demokrasi hanya dipresentasikan dengan banyaknya keterwakilan (kuantitas), tatapi belum mewakili nilai (kualitas).

Indikator paling jelas, banyak individu atau pelaku/elite politik dalam partai yang mudah menyeberang ke partai lain atau mendirikan partai baru hanya karena perbedaan pendapat. Kurang pekanya elite partai terhadap kondisi riil yang dialami rakyat, bahkan banyak petinggi partai bermanuver yang tidak ada kaitannya secara langsung oleh rakyat.

Contoh, banyak terungkapnya praktek korupsi, sogok menyogok di lingkungan parlemen. Individu-individu caleg yang diusung parpol juga menyisakan permasalahan sendiri secara kualitas rekrutmen calon legislator yang sarat dengan kepentingan kelompok dan mengabaikan merit system.

Yang lebih menyedihkan bahkan dari segi kualitas legislator yang notabene sudah lama duduk di parlemen tetapi nihil pengetahuan kenegaraannya. Mereka itu sering mengucap pemerintah itu presiden dan para pembantunya, sementara ia mereka tidak merasa bahwa ia/mereka sebagai legislator juga bagian dari pemerintahan.

Kalau merujuk pada asas trias politica, maka ada tiga cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan cabang yudikatif, sehingga apakah mereka legislatif, eksekutif, dan yudikatif semuanya adalah bagian pemerintahan dengan kewenangan masing-masing. Tak terbantahkan bahwa sistem demokrasi di Indonesia juga masih merujuk mashab Charles De Montesquieu ini. Oleh karena itu pemahamannya tentu tidak menyeberang dari mashab ini.

Demokrasi yang Boros

Penghamburan dana pribadi para caleg maupun dana negara untuk penyelenggaraan pemilu benar-benar menyita energi. Sementara ekonomi nasional dan keadaan riil rakyat sehari-hari dalam krisis.

Otonomi daerah ikut menyumbangkan era pemborosan ini. Coba kita amati mulai dari pemilihan bupati, wali kota, legislatif daerah, gubernur sampai legislatif pusat maupun presiden tidak serta merta menyadarkan betapa uang rakyat harus dialirkan untuk pesta demokrasi dimaksud. Dengan dalih demokrasi atau pesta demokrasi, lalailah menyelesaikan krisis dari waktu ke waktu yang sedang mendera rakyat.

Multipartai semakin melengkapi pemborosan itu apalagi keengganan partai-partai politik menjelaskan sumber dana kampanyenya. Transparansi masih sekadar wacana dan sulit dibuktikan melalui sistem audit yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian demokrasi masih tercederai oleh berbagai perilaku politik yang menyebal dari kaidah-kaidah political fairness. Apa salahnya ada kepeloporan moral politik, etika politik yang pantas dikedepankan oleh para elite politik kini dan ke depan.

Sekadar rujukan, Amerika Serikat dengan dua partai mayoritas, Demokrat dan Republik; toh kualitas demokrasi berjalan dengan baik. Disusul Inggris dengan mayoritas Partai Buruh dan Konservatif serta Australia dengan Partai Buruh dan Konservatifnya.

Kesimpulan, memaknai demokrasi tidak selalu dari segi kuantitas keterwakilan di dalam sistem lembaga kenegaraan, tetapi kualitas nilai demokrasi yang dikehendaki rakyat sebagai pemilik mandate the owner of the mandate of power.
diambil dari: surat pembaca lampungpost, oleh: Bambang Nuroso

Dosen Pascasarjana Program Kajian Wilayah AS, Universitas Indonesia

Read More..