banner

Caleg, Parpol, dan Demokrasi yang Boros

<script type="text/javascript"><!--
google_ad_client = "pub-6937949723690282";
/* 200x200, created 2/13/09 */
google_ad_slot = "4963588552";
google_ad_width = 200;
google_ad_height = 200;
//-->
</script>
<script type="text/javascript"
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
</script>
Tumbangnya rezim otoriter (Orde Baru) banyak memberikan ruang perubahan yang kemudian lebih dikenal dengan "reformasi". Era reformasi bak air bah yang memberikan inspirasi bagi tiap insan maupun lembaga politik melahirkan berbagai ide perubahan. Telah banyak perubahan disaksikan rakyat, tetapi juga kesengsaraan akibat perubahan banyak ditanggung rakyat.



Demokrasi (demos + cretos) atau kekuasaan dan rakyat. Artinya kekuasaan di tangan rakyat. Betulkah telah menjadi fakta utama bagi kesejahteraan rakyat? Apa sebaliknya hanya simulasi politik bagi (mereka) yang berkepentingan dengan kekuasaan atau kesejahteraan diri sendiri?

Sepuluh tahun telah lewat, era reformasi pun dicatat rakyat belum banyak membawa perubahan. Dari pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, sampai Yudhoyono silih berganti belum memberikan arah bangkitnya kesejahteran masyarakat. Paradoks antara cita-cita demokratisasi dan fakta pembiusan masyarakat dengan jargon demokrasi. Oleh karena itu yang seharusnya demokrasi menjadi alat ukur pencerdasan dan kesadaran politik tiap warga negara, berbalik arah menjadi drama persaingan yang kerdil dan pemborosan .

Multipartai

Era multipartai yang sedang berlangsung di Indonesia menggiring masyarakat dengan banyaknya pilihan politik (partai politik). Ada jargon semakin banyak partai politik makin banyak keterwakilan dalam mekanisme sistem politik, maka demokratislah negara itu.

Hipotesis ini perlu dikaji lebih mendalam. Benarkah kesimpulan di atas menjadi cermin demokrasi?

Contoh di era liberalisasi politik seperti sekarang ini hampir tidak ada hambatan insan atau kelompok insan politik mendirikan partai politik. Apakah mereka terpanggil mendirikan partai karena ingin berbeda dari partai pendahulunya, kecewa, emosi para elitenya, atau kepentingan materi. Indikator semakin jelas di mana publik dihadapkan pada pilihan partai atau para caleg partai yang semakin tidak jelas ukurannya. Tentang akuntabilitas, kredibilitas nyaris belum teruji dan menggiring rakyat banyak untuk menjatuhkan pilihan gambling.

Sekarang ini rakyat disuguhi "kucing dalam karung" untuk membawanya pulang sebagai pilihan. Ada lembaga nonpemerintah bahkan memfatwakan haram hukumnya bagi mereka yang golput.

Esensi demokrasi belum ada ukuran yang bersifat final, bahkan demokrasi tiap saat bisa berubah sesuai kebutuhan dan waktu. Ada saat setiap individu menjatuhkan pilihan dan ada pula waktu setiap individu untuk tidak menjatuhkan pilihan karena dipikir tidak merasa terwakili atau memang pantas atau tidak pantas untuk dipilih.

Fakta ini seyogianya dijadikan cermin politik bagi setiap elite politik, partai politik untuk semakin mendewasakan arus perpolitikan di Indonesia.

Contoh lain kita simak tampilan debat-debat politik di media televisi. Tidak jarang betapa menyedihkan tokoh-tokoh politik yang tampak belum siap dan bahkan ada istilah asal ada kesempatan. Media televisi bukan untuk mencoba atau belajar, melainkan wilayah kematangan kesadaran maupun pengetahuan politik yang akan dinilai publik. Karena publik akan menentukan pilihannya atau setidaknya mengetahui tentang kapabilitas seseorang maupun partai yang mewakili di alam demokrasi.

Belum lagi arogansi yang ditunjukkan di dalam event politik oleh mereka-mereka elite/partai. Ada banyak iklan politik yang tertempel diberbagai sudut-sudut/pinggir jalan, foto-foto, dan nama-nama dengan atribut partai masing-masing. Namun belum ada yang dengan jelas memaparkan program yang bersifat komprehensif, sehingga publik mengetahui tentang pantas atau tidak pantas dipilih. Kelihatan belum pahamnya etika politik dengan pelanggaran pemasangan iklan politik hampir di seluruh Tanah Air, dengan akibat penertiban yang seharusnya tidak terjadi.

Dinamika banyaknya partai di era reformasi justru mengurangi kualitas berdemokrasi. Demokrasi hanya dipresentasikan dengan banyaknya keterwakilan (kuantitas), tatapi belum mewakili nilai (kualitas).

Indikator paling jelas, banyak individu atau pelaku/elite politik dalam partai yang mudah menyeberang ke partai lain atau mendirikan partai baru hanya karena perbedaan pendapat. Kurang pekanya elite partai terhadap kondisi riil yang dialami rakyat, bahkan banyak petinggi partai bermanuver yang tidak ada kaitannya secara langsung oleh rakyat.

Contoh, banyak terungkapnya praktek korupsi, sogok menyogok di lingkungan parlemen. Individu-individu caleg yang diusung parpol juga menyisakan permasalahan sendiri secara kualitas rekrutmen calon legislator yang sarat dengan kepentingan kelompok dan mengabaikan merit system.

Yang lebih menyedihkan bahkan dari segi kualitas legislator yang notabene sudah lama duduk di parlemen tetapi nihil pengetahuan kenegaraannya. Mereka itu sering mengucap pemerintah itu presiden dan para pembantunya, sementara ia mereka tidak merasa bahwa ia/mereka sebagai legislator juga bagian dari pemerintahan.

Kalau merujuk pada asas trias politica, maka ada tiga cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan cabang yudikatif, sehingga apakah mereka legislatif, eksekutif, dan yudikatif semuanya adalah bagian pemerintahan dengan kewenangan masing-masing. Tak terbantahkan bahwa sistem demokrasi di Indonesia juga masih merujuk mashab Charles De Montesquieu ini. Oleh karena itu pemahamannya tentu tidak menyeberang dari mashab ini.

Demokrasi yang Boros

Penghamburan dana pribadi para caleg maupun dana negara untuk penyelenggaraan pemilu benar-benar menyita energi. Sementara ekonomi nasional dan keadaan riil rakyat sehari-hari dalam krisis.

Otonomi daerah ikut menyumbangkan era pemborosan ini. Coba kita amati mulai dari pemilihan bupati, wali kota, legislatif daerah, gubernur sampai legislatif pusat maupun presiden tidak serta merta menyadarkan betapa uang rakyat harus dialirkan untuk pesta demokrasi dimaksud. Dengan dalih demokrasi atau pesta demokrasi, lalailah menyelesaikan krisis dari waktu ke waktu yang sedang mendera rakyat.

Multipartai semakin melengkapi pemborosan itu apalagi keengganan partai-partai politik menjelaskan sumber dana kampanyenya. Transparansi masih sekadar wacana dan sulit dibuktikan melalui sistem audit yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian demokrasi masih tercederai oleh berbagai perilaku politik yang menyebal dari kaidah-kaidah political fairness. Apa salahnya ada kepeloporan moral politik, etika politik yang pantas dikedepankan oleh para elite politik kini dan ke depan.

Sekadar rujukan, Amerika Serikat dengan dua partai mayoritas, Demokrat dan Republik; toh kualitas demokrasi berjalan dengan baik. Disusul Inggris dengan mayoritas Partai Buruh dan Konservatif serta Australia dengan Partai Buruh dan Konservatifnya.

Kesimpulan, memaknai demokrasi tidak selalu dari segi kuantitas keterwakilan di dalam sistem lembaga kenegaraan, tetapi kualitas nilai demokrasi yang dikehendaki rakyat sebagai pemilik mandate the owner of the mandate of power.
diambil dari: surat pembaca lampungpost, oleh: Bambang Nuroso

Dosen Pascasarjana Program Kajian Wilayah AS, Universitas Indonesia

0 comments: